Profil Desa Wotbuwono

Ketahui informasi secara rinci Desa Wotbuwono mulai dari sejarah, kepala daerah, dan data lainnya.

Desa Wotbuwono

Tentang Kami

Desa Wotbuwono, Kecamatan Klirong, Kebumen: menilik potensi agraria, kekayaan tradisi lokal, dan dinamika tata kelola pemerintahan di tengah tantangan pembangunan. Profil desa yang berjuang untuk transparansi dan kesejahteraan warganya.

  • Pusat Agraris

    Mayoritas kehidupan ekonomi Desa Wotbuwono bertumpu pada sektor pertanian, khususnya budidaya padi sawah, yang menjadi tulang punggung mata pencaharian penduduk.

  • Kekayaan Tradisi Lokal

    Desa ini masih melestarikan tradisi budaya yang mengakar kuat di masyarakat, seperti Among-among (wetonan bayi) dan Pasar Pitu, yang menjadi penanda identitas sosial dan kultural.

  • Dinamika Tata Kelola Pemerintahan

    Wotbuwono menjadi sorotan publik menyusul adanya tuntutan transparansi dari warga pada tahun 2024 yang berlanjut pada proses hukum terkait dugaan penyelewengan dana desa, menunjukkan adanya kontrol sosial yang aktif dari masyarakat.

Pasang Disini

Terletak di hamparan subur Kabupaten Kebumen, Desa Wotbuwono di Kecamatan Klirong merupakan cerminan kehidupan pedesaan Jawa yang kental dengan nuansa agraris. Namun di balik ketenangan alamnya, desa ini menyimpan dinamika sosial dan pemerintahan yang kompleks. Dengan mayoritas penduduk yang menggantungkan hidup pada sawah, Wotbuwono tidak hanya berjuang menjaga produktivitas pertanian, tetapi juga menghadapi tantangan dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan, sebuah isu yang menjadi perhatian utama warganya dalam beberapa waktu terakhir.

Desa ini menjadi preseden penting tentang bagaimana kontrol sosial masyarakat dapat mendorong perubahan. Peristiwa yang terjadi di Wotbuwono menunjukkan kesadaran warga akan hak mereka untuk mendapatkan informasi dan pelayanan publik yang akuntabel. Profil ini akan mengulas secara mendalam kondisi geografis, demografi, potensi ekonomi, kehidupan sosial budaya, serta dinamika pemerintahan yang menjadikan Desa Wotbuwono sebagai sebuah wilayah yang patut diperhatikan di Kabupaten Kebumen.

Geografi dan Demografi Desa Wotbuwono

Secara administratif, Desa Wotbuwono ialah salah satu dari 24 desa yang berada di wilayah Kecamatan Klirong, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya berada sekitar 6 kilometer ke arah utara dari pusat pemerintahan Kecamatan Klirong. Berdasarkan data spasial, desa ini tercatat pada koordinat 7°42′54″ Lintang Selatan dan 109°39′10″ Bujur Timur.

Luas wilayah Desa Wotbuwono mencakup area seluas 137,58 hektar. Wilayah ini terbagi menjadi tiga pedukuhan atau dusun utama yang menjadi pusat pemukiman penduduk, yaitu Dukuh Ingas, Dukuh Mboana dan Dukuh Wotgalih. Pembagian wilayah ini menjadi basis struktur sosial dan administrasi di tingkat paling lokal.

Secara geografis, wilayah desa ini didominasi oleh lahan pertanian, khususnya persawahan irigasi yang menjadi penopang utama kegiatan ekonomi. Kontur tanah yang relatif datar dan ketersediaan air dari sistem irigasi membuat lahan di Wotbuwono sangat cocok untuk budidaya tanaman padi.

Batas Wilayah dan Kependudukan

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, batas wilayah administratif Desa Wotbuwono yaitu sebagai berikut:

  • Sebelah Barat: Berbatasan langsung dengan Desa Tambak Agung.

  • Sebelah Utara, Timur, dan Selatan: Berbatasan dengan desa-desa lain di lingkup Kecamatan Klirong, yang menunjukkan posisinya yang terintegrasi dalam konstelasi sosial-ekonomi kecamatan.

Menurut data kependudukan yang dirilis dalam sebuah riset akademik, jumlah penduduk Desa Wotbuwono mencapai 3.128 jiwa. Komposisi penduduknya terdiri dari 1.550 jiwa laki-laki dan 1.578 jiwa perempuan, menunjukkan rasio jenis kelamin yang cukup seimbang. Dengan luas wilayah 1,3758 kilometer persegi, kepadatan penduduk Desa Wotbuwono diperkirakan mencapai sekitar 2.273 jiwa per kilometer persegi. Angka ini menunjukkan tingkat kepadatan yang cukup tinggi untuk sebuah wilayah pedesaan, menandakan pentingnya optimalisasi pemanfaatan lahan baik untuk pemukiman maupun untuk kegiatan produktif.

Pemerintahan dan Tata Kelola Desa

Pemerintahan Desa Wotbuwono, sebagaimana desa lainnya di Indonesia, dijalankan oleh seorang Kepala Desa yang dibantu oleh jajaran perangkat desa. Kantor desa yang beralamat di Dusun Bowana RT 01/RW 01 menjadi pusat administrasi dan pelayanan publik bagi seluruh warga. Secara historis, Desa Wotbuwono resmi terbentuk sebagai satu entitas pemerintahan sekitar tahun 1928 setelah terjadi peristiwa blengketan atau penggabungan tiga desa sebelumnya: Desa Bowana, Desa Ingas, dan Desa Wotgalih. Kepala Desa pertama yang tercatat dalam sejarah desa ialah Udowikarto, yang menjabat dari tahun 1928 hingga 1935.

Dalam beberapa waktu terakhir, tata kelola pemerintahan Desa Wotbuwono menjadi sorotan utama. Pada hari Kamis, 22 Agustus 2024, puluhan warga yang dimotori oleh kalangan pemuda menggelar aksi damai di halaman kantor desa. Aksi ini menyuarakan tuntutan transparansi pengelolaan anggaran dan perbaikan kinerja pemerintah desa. Warga membawa berbagai spanduk yang mengkritik kondisi pemerintahan saat itu, menandakan adanya rasa kekecewaan di tengah masyarakat.

Menanggapi aksi tersebut, Kepala Desa Wotbuwono, Eli Sugiono, beserta jajaran perangkatnya menemui para demonstran. Dalam dialog yang terjadi, ia mengakui adanya kekurangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. "Memang ada penemuan-penemuan dari inspektorat, namun insyaaAllah kami akan menyelesaikannya," ujarnya di hadapan warga, sebagai komitmen untuk melakukan perbaikan. Aksi damai tersebut diakhiri dengan penandatanganan surat perjanjian di mana pihak pemerintah desa berjanji akan menyelesaikan seluruh tanggung jawabnya, dan bersedia menerima sanksi jika gagal memenuhinya.

Perkembangan dari peristiwa tersebut berlanjut ke ranah hukum. Pada bulan Maret 2025, Kejaksaan Negeri (Kejari) Kebumen mengumumkan bahwa kasus dugaan penyelewengan dana desa di Wotbuwono telah naik ke tahap penyidikan. Kasi Intel Kejari Kebumen, Sulistyo Hadi, mengonfirmasi bahwa penyelidikan tersebut melibatkan kepala desa dan bendahara desa. "Penyelewengan dana desa ini diduga dilakukan oleh Kepala Desa dan Bendahara," kata Sulistyo kepada media. Kasus ini bermula dari laporan masyarakat yang merupakan tindak lanjut dari demonstrasi pada tahun sebelumnya. Saat ini, pihak kejaksaan masih melakukan proses perhitungan kerugian negara sebelum melimpahkan perkara ke pengadilan. Dinamika ini menunjukkan bahwa mekanisme kontrol sosial di Wotbuwono berjalan aktif dan menjadi pelajaran penting mengenai akuntabilitas kekuasaan di tingkat desa.

Potensi Ekonomi dan Mata Pencaharian

Sektor pertanian merupakan urat nadi perekonomian Desa Wotbuwono. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani, dengan padi sebagai komoditas utama yang dibudidayakan di lahan-lahan sawah yang luas. Sistem pertanian di desa ini sangat bergantung pada musim dan ketersediaan air irigasi. Berdasarkan catatan dari situs resmi desa pada musim tanam pertama tahun 2021, hasil panen padi tergolong sangat baik dengan rata-rata mencapai 1,3 ton gabah basah per 100 ubin (sekitar 1.400 meter persegi).

Meskipun hasil panen melimpah, para petani menyuarakan keprihatinan terkait harga jual gabah yang dianggap tidak sebanding dengan biaya operasional dan perawatan yang semakin tinggi. Isu stabilitas harga produk pertanian ini menjadi tantangan klasik yang terus dihadapi oleh masyarakat agraris di Wotbuwono dan wilayah lainnya.

Selain pertanian padi, pemerintah desa melalui situs resminya juga menyebutkan adanya potensi pengembangan produk organik dan kesenian. Hal ini sejalan dengan tren pasar modern yang semakin peduli terhadap produk-produk ramah lingkungan dan bernilai budaya. Kelompok Wanita Tani (KWT) di desa ini juga tercatat aktif dalam kegiatan penanaman sayur-sayuran, sebuah inisiatif yang berpotensi meningkatkan ketahanan pangan keluarga sekaligus memberikan nilai tambah ekonomi. Namun, hingga saat ini belum ada data spesifik mengenai komoditas organik atau produk kerajinan unggulan yang diproduksi secara massal dan menjadi ikon ekonomi desa. Potensi ini masih bersifat aspiratif dan memerlukan pengembangan lebih lanjut, baik dari sisi produksi, pengemasan, maupun strategi pemasaran.

Di luar sektor pertanian, sebagian kecil penduduk bekerja di sektor lain seperti jasa, perdagangan, atau menjadi perantau. Namun, dominasi sektor agraris membuat struktur ekonomi desa ini relatif homogen. Ke depan, tantangan pembangunan ekonomi Wotbuwono terletak pada kemampuan diversifikasi usaha, peningkatan nilai tambah produk pertanian, dan pemanfaatan teknologi untuk membuka akses pasar yang lebih luas.

Kehidupan Sosial dan Budaya

Masyarakat Desa Wotbuwono hidup dalam lingkungan sosial yang diwarnai oleh nilai-nilai kebersamaan dan tradisi budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu tradisi yang masih kental dijalankan, khususnya di Dukuh Ingas, ialah Among-among atau Wetonan Bayi. Tradisi ini merupakan upacara selamatan yang diadakan untuk memperingati hari kelahiran seorang anak berdasarkan kalender Jawa (weton) setiap 35 hari sekali. Sebuah studi akademis mengenai tradisi ini mengungkap bahwa Among-among tidak hanya berfungsi sebagai ritual rasa syukur, tetapi juga mengandung nilai-nilai pendidikan Islam seperti kepedulian sosial, kebersamaan, kesederhanaan, dan ajaran untuk saling berbagi antar sesama.

Selain itu, Desa Wotbuwono juga mengenal Tradisi Pasar Pitu yang berkaitan dengan prosesi pernikahan adat. Meski penelitian dari UIN Sunan Kalijaga menunjukkan adanya pergeseran makna sosial dalam pelaksanaannya seiring perubahan zaman, eksistensi tradisi ini membuktikan bahwa masyarakat Wotbuwono terus berupaya merawat warisan budayanya. Tradisi ini, meskipun diakui cukup memberatkan secara ekonomi bagi sebagian keluarga, tetap dipandang sebagai bagian penting dari identitas budaya lokal.

Kegiatan keagamaan juga menjadi pilar penting dalam kehidupan sosial. Mayoritas penduduk memeluk agama Islam, dan aktivitas keagamaan berpusat di masjid-masjid dan mushala yang tersebar di setiap dukuh. Berbagai program pemerintah di bidang kesehatan dan sosial juga berjalan aktif, seperti kegiatan Pos Binaan Terpadu (Posbindu) untuk memantau kesehatan warga, program Sub Pekan Imunisasi Nasional (SUB PIN) Polio, hingga penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang informasinya disebarluaskan melalui aparatur desa. Adanya Kelompok Wanita Tani (KWT) juga menjadi wadah interaksi sosial yang produktif bagi kaum perempuan di desa.

Infrastruktur dan Pembangunan

Pembangunan infrastruktur dasar di Desa Wotbuwono terus berjalan secara bertahap. Sarana dan prasarana publik yang esensial telah tersedia untuk menunjang aktivitas warga. Di bidang pemerintahan, terdapat Gedung Pertemuan atau Balai Desa yang berfungsi sebagai pusat layanan administrasi, lokasi musyawarah, serta tempat penyelenggaraan berbagai kegiatan kemasyarakatan seperti Posbindu dan Gerakan Pasar Murah (GPM).

Di sektor pendidikan, keberadaan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Wotbuwono menjadi fasilitas vital untuk memastikan akses pendidikan dasar bagi anak-anak di desa tersebut. Ketersediaan lembaga pendidikan di tingkat desa sangat penting untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan.

Aksesibilitas jalan desa juga menjadi perhatian, meskipun data detail mengenai kondisi jalan belum sepenuhnya terungkap. Sebagai desa agraris, kualitas jalan usaha tani dan jalan penghubung antar dukuh sangat krusial untuk kelancaran transportasi hasil panen dan mobilitas warga sehari-hari.

Salah satu isu pembangunan eksternal yang berpotensi memberikan dampak signifikan bagi Desa Wotbuwono adalah rencana pembangunan Jalan Tol Yogyakarta-Cilacap. Sejumlah pemberitaan menyebutkan bahwa trase jalan tol tersebut kemungkinan akan melintasi atau berdampak pada lahan di wilayah Kecamatan Klirong. Isu ini menjadi perhatian warga karena menyangkut masa depan kepemilikan tanah dan potensi perubahan lanskap sosial-ekonomi desa. Respon dan adaptasi pemerintah desa serta warga terhadap rencana pembangunan berskala nasional ini akan menjadi faktor penentu arah pembangunan Wotbuwono di masa yang akan datang.